Masyarakat Pelosok Menjerit: Aturan Baru Pembelian Gas 3 Kg Membuat Rakyat Makin Sulit

Kebijakan Berlaku Tanpa Sosialisasi, Warga Bingung dan Kesulitan

(ketika LPG 3kg masih tersedia bebas di toko pelosok)

SBINews.id – Situbondo | Selasa (4/2/25)

Example 379x315

Pemberlakuan aturan baru terkait pembelian gas LPG 3 kg bersubsidi menjadi pukulan berat bagi masyarakat miskin, terutama yang tinggal di pelosok. Pemerintah mewajibkan pembeli untuk menunjukkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dari Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai syarat pembelian. Namun, aturan ini diberlakukan secara mendadak tanpa sosialisasi yang jelas, sehingga banyak warga merasa kebingungan dan kesulitan mendapatkan gas yang selama ini menjadi kebutuhan pokok mereka.

Keluhan datang dari berbagai daerah. Banyak warga yang belum memahami mekanisme baru ini, sementara pengecer pun mengaku tidak mendapatkan panduan yang cukup. “Tiba-tiba aturan ini berlaku, tapi kami tidak diberi penjelasan bagaimana teknisnya. Sekarang kalau mau beli gas harus pakai KTP, tapi tidak semua warga punya KTP atau paham cara mendaftarkan diri,” ujar Ibu Nur, seorang pedagang gorengan di daerah terpencil di Dusun Leduk, Desa Sumberejo, Kecamatan Banyuputih, Situbondo.

Ketiadaan informasi yang merata menjadi masalah utama. Sosialisasi yang lebih banyak dilakukan melalui media digital tidak cukup efektif menjangkau masyarakat pelosok yang minim akses internet. “Ada berapa persen warga yang melek internet?” kata Hari, seorang pemerhati sosial. “Seharusnya pemerintah turun langsung ke lapangan, melakukan pendataan dan registrasi pengecer yang selama ini menjadi rujukan warga miskin. Jika hanya mengandalkan pengumuman di media sosial atau televisi, jelas tidak semua warga bisa mengetahuinya.”

 

Ancaman Penyalahgunaan Data Pribadi

Selain kebingungan dalam penerapan, aturan ini juga menimbulkan kekhawatiran mengenai keamanan data pribadi. Warga yang diwajibkan menunjukkan NIK untuk membeli gas 3 kg kini berisiko mengalami penyalahgunaan data. Tanpa jaminan perlindungan yang jelas, data yang dikumpulkan bisa saja dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Baca Juga:
Polres Situbondo Gandeng Rumah Sakit Bhayangkara Periksa Kesehatan Anggota Polri dan ASN

“Kami diminta menunjukkan KTP, tapi tidak ada kepastian bagaimana data kami akan digunakan dan disimpan,” ujar Rahman, warga Desa Rajekwesi, Kecamatan Kendit, Situbondo yang juga terdampak aturan ini. “Bagaimana jika data ini bocor atau dijual ke pihak lain? Bukankah banyak kasus kebocoran data di negara ini?”

Potensi penyalahgunaan data memang menjadi momok yang meresahkan. Tanpa sistem yang transparan, warga rentan menjadi korban praktik ilegal, seperti jual beli data pribadi atau bahkan penyalahgunaan untuk kepentingan politik dan ekonomi tertentu.

 

Siapa yang Diuntungkan?

Pemerintah berdalih bahwa kebijakan ini bertujuan agar subsidi gas 3 kg lebih tepat sasaran, yaitu bagi masyarakat miskin yang benar-benar berhak. Namun, di lapangan, dampaknya justru menyulitkan warga miskin untuk mendapatkan gas bersubsidi.

Banyak pengecer memilih tidak lagi menjual gas 3 kg karena rumitnya aturan baru. Akibatnya, warga harus mencari alternatif yang lebih jauh dan sering kali harus membeli dengan harga lebih mahal. “Dulu saya bisa beli di warung dekat rumah, sekarang harus ke agen resmi yang jaraknya belasan kilometer. Itu pun belum tentu dapat,” keluh Sarman, buruh tani di daerah pedalaman Desa Widoropayung, Kecamatan Besuki, Situbondo.

Lonjakan harga pun tak terhindarkan. Dengan semakin sedikitnya pengecer yang bisa menjual, stok menjadi terbatas, dan di beberapa daerah harga gas 3 kg melambung jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).

Selain itu, muncul dugaan bahwa kebijakan ini bisa saja menguntungkan kelompok tertentu yang ingin mengendalikan distribusi gas bersubsidi. Dengan mekanisme yang semakin sulit bagi warga kecil, apakah ada pihak yang sengaja ingin mempersempit akses dan mengalihkan keuntungan ke jalur distribusi tertentu?

 

Evaluasi dan Solusi yang Diharapkan

Baca Juga:
Aktivis Botolinggo Meminta kepada Pemkab Bondowoso Segera Perbaiki Jalan Rusak

Tanpa solusi konkret dan transparansi yang lebih baik, kebijakan ini berpotensi semakin memberatkan masyarakat kecil. Pemerintah perlu segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap dampak kebijakan ini, terutama bagi masyarakat di daerah terpencil yang paling terdampak.

Beberapa langkah yang semestinya dilakukan pemerintah agar kebijakan ini lebih adil dan efektif antara lain:

  1. Sosialisasi yang lebih luas dan menyeluruh, tidak hanya melalui media digital tetapi juga melalui pendekatan langsung ke masyarakat, seperti melalui perangkat desa atau kelompok masyarakat.
  2. Pendataan ulang pengecer dan masyarakat miskin, agar distribusi gas bersubsidi benar-benar tepat sasaran tanpa mempersulit akses masyarakat.
  3. Jaminan perlindungan data pribadi, dengan regulasi yang jelas agar data NIK KTP yang dikumpulkan tidak disalahgunakan oleh pihak lain. Pemerintah wajib mengumumkan data penyalur dan pengecer yang telah terregistrasi resmi.
  4. Pengawasan ketat terhadap distribusi gas 3 kg, termasuk memastikan harga tetap terjangkau dan tidak ada pihak yang memainkan stok atau harga di lapangan.

 

Jika pemerintah tidak segera turun tangan untuk mengatasi berbagai permasalahan ini, bukan tidak mungkin masyarakat kecil yang seharusnya dilindungi justru semakin terpinggirkan. Apakah kebijakan ini benar-benar demi kepentingan rakyat, atau ada kepentingan lain yang bermain di baliknya? Pertanyaan ini masih menggantung, sementara masyarakat kecil terus berjuang untuk mendapatkan hak mereka atas gas bersubsidi.

Penulis: HamzahEditor: Redaksi
error: