Narasi Negatif soal THR dan Mobdin Dinilai Tidak Mendidik, Eko Febriyanto: Media Harus Jadi Komunikator Kemajuan Daerah

Situbondo — Isu seputar Tunjangan Hari Raya (THR) yang mencatut nama beberapa wartawan serta pengadaan mobil dinas (mobdin) kembali mencuat di berbagai platform media massa, baik cetak, elektronik, maupun media sosial. Beberapa pemberitaan bahkan menyoroti dugaan kurangnya Sense of Crisis pemerintah dalam pengadaan kendaraan dinas, yang menimbulkan beragam spekulasi di tengah masyarakat.

Eko Febriyanto, aktivis sosial asal Situbondo yang dikenal vokal terhadap isu-isu ketimpangan, menanggapi polemik tersebut dengan kritis. Menurutnya, media massa seharusnya mampu mengambil peran sebagai penyampai informasi yang edukatif dan konstruktif.

Example 379x315

“Media memiliki kekuatan dalam membentuk citra daerah. Dalam kondisi seperti ini, sangat penting menciptakan branding positif agar stabilitas daerah terjaga, apalagi Situbondo tengah berusaha bangkit dari dampak mega korupsi Dana PEN serta pengadaan barang dan jasa,” ujar Eko.

Lebih lanjut, Eko mempertanyakan narasi yang berkembang soal THR. Ia menilai, pemberitaan yang terkesan menyudutkan tanpa kejelasan fakta bisa memunculkan kecurigaan publik. “Apakah memang benar ada realisasi THR? Dari siapa dan kepada siapa diberikan? Atau ini hanya prasangka dengan tujuan tertentu?” tanyanya.

Terkait pengadaan mobil dinas, Eko tidak sependapat dengan tudingan bahwa pemerintah tidak memiliki kepekaan terhadap krisis. Ia justru menilai langkah efisiensi telah diterapkan oleh pemerintahan Bupati Yusuf Rio Wahyu Prayogo (Mas Rio) dan Wakil Bupati Ulfiyah (Mbak Ulfi). Salah satunya adalah keputusan mengganti pengadaan mobil Alphard menjadi Fortuner, yang memunculkan selisih anggaran di mana kemudian dialokasikan untuk penanganan bencana banjir.

“Di sini justru pemerintah menunjukkan Sense of Crisis. Sayangnya, framing negatif tetap digaungkan oleh pihak-pihak tertentu, yang menurut saya justru menunjukkan krisis mental,” tegas Eko.

Aktivis nasional itu juga menyoroti fenomena yang menurutnya sarat dengan kekeliruan logika (logical fallacy) di era post-truth, di mana opini pribadi atau asumsi kerap dianggap sebagai fakta. Ia melihat ada upaya agitasi untuk menarik perhatian publik dengan membangun narasi-narasi tendensius.

Baca Juga:
Dari Balik Layar Bisnis Perikanan: Kisah HRM Khalilur R Abdullah Sahlawiy di Tiga Negara

“Kalau memang ada yang merasa dirugikan secara personal, seharusnya diselesaikan lewat jalur hukum, bukan lewat framing di media. Jika tidak terbukti, justru bisa berbalik menjadi pencemaran nama baik,” katanya.

Eko pun mengajak semua pihak, terutama media massa, untuk menatap ke depan dan berkontribusi membangun Situbondo. “Situbondo butuh akselerasi. Ide, gagasan, dan solusi progresif sangat diperlukan untuk membawa daerah ini naik kelas. Media harus mengambil peran sebagai komunikator setiap peristiwa, bukan provokator,” pungkasnya.

Penulis: HamzahEditor: Redaksi
error: