Situbondo, SBINews.id – Sebuah deklarasi yang dilakukan oleh komunitas pondok pesantren di Situbondo mendadak menjadi viral dan memicu kontroversi di tengah masyarakat. Deklarasi yang dikemas dalam acara halal bihalal tersebut menyatakan dukungan terhadap bupati petahana dan wakilnya untuk terpilih kembali dalam pemilihan mendatang. Kejadian ini menjadi semakin sensitif karena oknum pejabat bupati dan wakilnya diketahui hadir dalam acara tersebut.
Kehadiran beberapa oknum pejabat publik dan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang turut serta mendukung agenda deklarasi menambah kerumitan situasi. Oknum Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Situbondo yang diduga juga menjadi guru di salah satu SMA Negeri di Situbondo; oknum pejabat lurah Dawuhan; dan beberapa oknum ASN lainnya diduga terlibat dalam euforia deklarasi.
Peristiwa tersebut tentu saja menjadikan tanda tanya kepada sebagian besar masyarakat Situbondo. Padahal, pada kasus serupa, telah diberikan sanksi yang cukup berat dan tegas kepada pejabat maupun pegawai yang kedapatan melakukan hal yang sama.
Ini mengingatkan pada sebuah insiden yang melibatkan seorang sekretaris dinas yang diduga terlibat dalam politik praktis. Sekretaris tersebut dilaporkan telah disebut sebagai ‘bupati’ oleh seorang warga yang mengumpulkan sumbangan di jalan, sebuah tindakan yang bertepatan dengan kegiatan sosial yang ia selenggarakan. Akibatnya, sekretaris tersebut harus menghadapi penonaktifan dari posisinya untuk memungkinkan penyelidikan yang menyeluruh atas dugaan tersebut.
Kasus berikutnya adalah diberhentikannya salah satu pegawai non ASN/honorer di salah satu dinas di Situbondo. Pegawai tersebut diberhentikan setelah kedapatan berfoto selfie dengan seorang kandidat bupati dan membagikan foto tersebut sebagai status di media sosial pribadinya. Meskipun tujuan pegawai tersebut hanyalah untuk mengekspresikan kebahagiaannya atas pertemuan dengan kandidat bupati, yang kebetulan adalah teman lamanya yang lama tidak ditemui. Tindakannya tersebut berujung pada pemberhentian secara permanen.
Sebuah kenyataan yang sangat ironis..!
Kita ketahui bersama bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2023, dijelaskan bahwa pejabat negara seperti bupati yang ingin berkampanye harus menjalankan cuti terlebih dahulu. Permohonan izin cuti harus diajukan secara tertulis dan disampaikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat paling lambat 3 hari sebelum pelaksanaan kampanye.
Selain itu, selama melaksanakan kampanye, bupati wajib menjalani cuti di luar tanggungan negara. Ini adalah aturan yang ditetapkan untuk memastikan bahwa tidak ada penyalahgunaan fasilitas negara selama proses pemilu dan untuk menjaga integritas pemilihan umum.
Seorang bupati tidak boleh berpolitik praktis sebelum mengambil cuti atau masa jabatannya berakhir. Menurut peraturan yang berlaku di Indonesia, pejabat publik seperti bupati harus mengambil cuti dari jabatannya sebelum terlibat dalam kegiatan kampanye politik. Hal ini untuk memastikan bahwa tidak ada konflik kepentingan dan penyalahgunaan fasilitas negara selama periode kampanye.
Termasuk di sini adanya aturan yang melarang bupati sebagai pejabat publik untuk melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri. Ini menunjukkan adanya pembatasan aktivitas politik bagi pejabat publik menjelang akhir masa jabatan mereka.
Berikutnya adalah poin-poin yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Pegawai ASN harus menjaga netralitas dan tidak boleh terlibat dalam kampanye politik. Larangan ini juga ditegaskan dalam Surat Keputusan Bersama yang diterbitkan oleh pemerintah menjelang Pemilu 2024, yang ditandatangani oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; Menteri Dalam Negeri; Plt. Kepala Badan Kepegawaian Negara; Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara; serta Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum.
Mengapa harus diterbitkan UU No.5 Tahun 2014 tentang ASN ini, karena ASN adalah tenaga profesional yang menjadi motor pemerintahan dan harus tetap pada kedudukan profesional tanpa memihak pada kontestan politik yang akan bertanding di Pemilu maupun Pemilukada. Meskipun ASN memiliki hak pilih, mereka harus tetap menjaga netralitas, profesionalisme, dan tidak boleh terlibat dalam kampanye politik.
(Tulisan ini di-forward ke Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia)
Penulis: Hamzah
Editor: Redaksi