18 Fakta Kebiadaban Bandit Cukai di Balik Fasilitas Jalur Hijau

Laporan Khusus Tim Redaksi Investigasi SBI News di Malang, Surabaya, Madura, Jakarta dan beberapa kota besar lainnya:

 

1. Awan Gelap di Atas Dirjen Bea Cukai

Bandit-bandit kepabeanan dan cukai tampaknya mulai gelisah. Pergantian pucuk pimpinan di Kementerian Keuangan menandai babak baru dalam pengawasan fiskal Indonesia. Di bawah kepemimpinan Purbaya Yudhi Sadewa, yang dikenal tegas dan berani mengambil risiko, aroma ketakutan menyelimuti lingkaran bisnis gelap di sektor cukai dan kepabeanan.

Para pengusaha nakal dan oknum aparat yang selama ini bersekongkol dalam permainan kotor cukai kini waspada. Sinyal pembenahan besar-besaran di tubuh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mulai terasa. Beberapa nama yang selama ini menjadi Raja Kecil di daerah, kini disebut-sebut mulai mencari perlindungan politik maupun hukum.

 

2. Nama yang Paling Disebut: JS

Di antara sekian banyak pemain, satu nama mencuat: JS, pria asal Malang, Jawa Timur. Dalam lingkaran industri rokok, ia dikenal sebagai peternak kuota pita cukai, istilah sinis yang lahir dari praktik ilegal yang ia jalankan. JS diyakini telah merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah melalui manipulasi distribusi pita cukai rokok.

Selama bertahun-tahun, JS menguasai jalur distribusi rokok ilegal di Jawa Timur dan sekitarnya. Jaringannya menjalar dari Malang hingga Madura, bahkan menyentuh pelabuhan-pelabuhan besar di Surabaya. Ironisnya, laporan tentang sepak terjangnya telah berulang kali masuk ke sistem pengaduan Bea Cukai, namun tak pernah direspons secara serius.

 

3. Laporan yang Menguap di Meja Bea Cukai

Berdasarkan penelusuran Forum Keadilan, puluhan hingga ratusan laporan masyarakat terkait JS diterima melalui Rubrik Surat Pembaca. Salah satu yang paling rinci datang dari seorang pengusaha rokok kecil di Pamekasan, Madura.

Dalam surel tersebut, sang pengusaha menuduh JS menjalin kerja sama gelap dengan oknum pejabat tinggi di lingkungan Kantor Bea Cukai Madura beserta sejumlah pejabat di bawahnya. Tujuannya: menguasai penuh peredaran rokok ilegal di wilayah tersebut, dengan dalih membantu pelaku usaha mikro.

 

4. Modus Operandi: Mendirikan Pabrik Fiktif

Modus yang dipakai JS terbilang licik namun sistematis. Ia mengarahkan warga Madura untuk mendirikan pabrik rokok kecil fiktif, cukup memiliki izin, tanpa harus berproduksi. Langkah ini dilakukan agar mereka berhak mendapatkan kuota pita cukai SKT (Sigaret Kretek Tangan) dari Bea Cukai.

Setelah kuota itu cair, pita cukai SKT tersebut dibeli kembali oleh Johan dengan harga antara 5 hingga 7,5 juta rupiah per rim. Skema ini membuat JS memegang kendali penuh atas aliran pita cukai murah, yang kemudian ia gunakan untuk produksi rokok mesin (SKM) miliknya.

Baca Juga:
Kisah Pilu PMI di Malaysia Berakhir Bahagia, Nasim Khan Kawal Pemulangan 8 PMI Deportasi

 

5. Pabrik yang Tak Pernah Mengepul

Pabrik-pabrik rokok kecil itu hanyalah papan nama. Tak ada aktivitas produksi, tak ada tenaga kerja, tak ada gudang tembakau. Namun, setiap bulan, mereka tetap menerima jatah pita cukai resmi.

Pita itu kemudian diambil alih oleh JS, lalu dipasangkan ke rokok buatan mesin dengan merek TRANS, RC, RASTA, dan SAVIR. Dalam catatan Bea Cukai, semua tampak sah. Tapi di lapangan, pita SKT yang seharusnya untuk rokok lintingan tangan justru menempel di rokok mesin yang volume produksinya jauh lebih besar.

 

6. Kalkulasi Uang Haram

Jika satu usaha kecil mendapatkan dua rim pita cukai per bulan, dengan harga beli rata-rata 5 juta rupiah, maka dari 300 pabrik fiktif, JS bisa meraup keuntungan 3 miliar rupiah per bulan. Itu hanya dari satu wilayah: Madura. Belum termasuk keuntungan penjualan rokok ilegal yang dikenai pajak lebih rendah karena menggunakan pita cukai tidak sesuai jenis.

Dengan volume seperti itu, estimasi kerugian negara dari satu wilayah operasi, JS bisa mencapai 36 miliar rupiah per tahun. Jika dihitung secara nasional dengan jaringan serupa di Jawa Tengah, Kalimantan, dan Sumatera, potensi kebocoran bisa menembus angka triliunan rupiah.

 

7. Dua Peran JS: Pengusaha dan Peternak Pita Cukai

Di mata publik, JS mungkin terlihat sebagai pengusaha rokok, namun di balik layar, ia berperan ganda: pengendali rokok ilegal sekaligus penyuplai pita cukai palsu. Dengan sistem yang tertata, ia mampu memanipulasi data, mengatur distribusi, dan memutar kembali hasil kejahatannya menjadi modal bisnis legal.

“Dia bukan pemain biasa. Johan punya orang dalam di berbagai kantor Bea Cukai,” ujar salah satu sumber di lingkungan industri tembakau di Surabaya yang enggan disebut namanya.

 

8. Bisnis Jalur Hijau

Selain permainan di sektor rokok, nama JS juga dikaitkan dengan penyelundupan pita cukai dan minuman beralkohol. Semua itu dimungkinkan karena kedekatan dengan jaringan ekspedisi BR Cargo dan sejumlah importir yang beroperasi melalui Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.

Modusnya: pengiriman barang diberi fasilitas Jalur Hijau, yang berarti barang impor tidak perlu diperiksa fisik. Dalam sistem kepabeanan, jalur ini seharusnya hanya diberikan kepada importir berisiko rendah. Namun dalam praktiknya, fasilitas ini justru dijadikan tameng untuk menyelundupkan barang-barang ilegal.

Baca Juga:
Dugaan Proyek P3-TGAI Merah Delima di Desa Semiring Bermasalah

 

9. Jalur Hijau, Jalur Basah

Pihak Bea Cukai menyebut Jalur Hijau sebagai simbol efisiensi. Namun di kalangan pengusaha, istilah itu berubah menjadi jalur basah, tempat mengalirnya uang suap dan manipulasi dokumen. Barang yang seharusnya diperiksa lolos begitu saja, karena statusnya aman.

“Kalau sudah masuk Jalur Hijau, tak ada yang berani buka kontainer,” ungkap salah satu pejabat ekspedisi yang pernah bekerja di BR Cargo kepada Forum Keadilan.

 

10. Barang dari Negeri Tirai Bambu

Investigasi lebih lanjut menemukan, pita cukai palsu dan minuman beralkohol selundupan itu berasal dari China. Jalur logistiknya rapi: dari pelabuhan Guangdong menuju Tanjung Perak, dikirim melalui kontainer berlabel Perlengkapan Percetakan. Di dalamnya, terselip pita cukai palsu siap edar.

Sebuah sumber menyebut, jaringan ini sudah berjalan lebih dari lima tahun. Bea Cukai setempat mengetahui, tetapi sebagian memilih diam. Alasannya klasik: keterbatasan personel dan prioritas pengawasan.

 

11. Rasio Ilegal 1:100

Akibat permainan kotor itu, jumlah produk ilegal di pasar kini jauh melampaui produk legal. Data perkiraan internal menunjukkan perbandingan mencolok: satu produk legal berbanding seratus ilegal. Artinya, dari 100 bungkus rokok atau botol minuman keras yang beredar, hanya satu yang benar-benar membayar cukai sesuai aturan. Kondisi ini menciptakan distorsi pasar. Harga rokok ilegal jauh lebih murah, sehingga perusahaan resmi kesulitan bersaing.

 

12. Korban: Industri Legal dan Pekerja

Dampaknya tidak hanya pada penerimaan negara, tetapi juga pada ribuan tenaga kerja. Salah satu contohnya, PT Gudang Garam Tbk. di Kediri terpaksa melakukan PHK massal. Penjualan menurun drastis karena pasar dibanjiri rokok ilegal yang dijual di bawah harga produksi.

“Rokok ilegal itu membunuh industri legal pelan-pelan,” kata seorang pengurus serikat pekerja di Kediri kepada awak media.

 

13. Laporan yang Tak Tersentuh

Yang lebih menyakitkan, semua laporan terkait praktik ini seakan tak berdaya menembus tembok birokrasi. Pengaduan masyarakat menumpuk, tetapi tidak ada tindak lanjut nyata dari aparat penegak hukum. Banyak yang percaya, laporan itu berhenti di meja pejabat Bea Cukai sendiri. Bahkan, ada kabar bahwa beberapa laporan dihapus dari sistem internal, dengan alasan klasik: “tidak cukup bukti“.

 

14. Purbaya dan Bayang-bayang Reformasi

Kini semua mata tertuju pada Purbaya Yudhi Sadewa. Sosok ekonom dan teknokrat yang dikenal berani menentang arus ini diharapkan mampu membongkar sarang mafia cukai dan kepabeanan.

Baca Juga:
Sidak PG Pradjekan, Nasim Khan Temukan Stok Gula Petani Meluap, Ratusan Miliar Uang Rakyat Mengendap

Di tangan Purbaya, reformasi di Kementerian Keuangan bisa kembali memiliki ruh: Penegakan Integritas. Namun, ia harus berhadapan dengan jaringan yang kuat, berlapis, dan memiliki koneksi hingga ke tingkat politik.

 

15. Saatnya Menagih Akuntabilitas

Publik menunggu langkah konkret:

Apakah Kemenkeu berani membuka audit internal terhadap seluruh fasilitas Jalur Hijau di pelabuhan besar? 

Apakah Ditjen Bea Cukai siap menindak oknum di daerah yang terbukti bermain? 

Pertanyaan-pertanyaan itu kini menggema di tengah keprihatinan. Transparansi dan keberanian menjadi kunci. Tanpa itu, reformasi hanya akan berakhir sebagai slogan kosong.

 

16. Negara Dirampok Dalam Senyap

Permainan cukai ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ia adalah bentuk perampokan terhadap negara, yang dilakukan dalam senyap, terstruktur, dan berulang. Setiap pita cukai palsu yang menempel di bungkus rokok ilegal, sesungguhnya adalah simbol dari hilangnya uang rakyat. Setiap kontainer yang lolos di Jalur Hijau tanpa diperiksa, adalah tanda bahwa hukum masih tunduk pada uang.

 

17. Akhir dari Kekebalan?

Apakah ini akan menjadi akhir dari kekebalan kroni cukai? 

Waktu yang akan menjawab. Tapi setidaknya, angin perubahan kini berembus dari pusat. Para bandit cukai yang dulu merasa aman di bawah bayang-bayang kekuasaan lama, kini mulai resah. Nama-nama seperti JS mungkin hanya puncak gunung es dari serangkaian panjang korupsi fiskal di negeri ini.

 

18. Penutup: Di Persimpangan Integritas

Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada peluang besar untuk membenahi sektor penerimaan negara yang selama ini bocor. Di sisi lain, ada kekuatan lama yang terus mempertahankan status quo demi mempertahankan aliran uang haram.

Keberanian pemerintah untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu akan menentukan apakah rakyat bisa kembali percaya pada institusi fiskal negeri ini.

 

Catatan Redaksi dan Lampiran Fakta Investigasi:

  1. Nama: JS – Domisili: Malang, Jawa Timur – Dugaan: Pengendali distribusi rokok ilegal dan pita cukai palsu.
  2. Jaringan: Melibatkan pejabat Bea Cukai Madura, pelaku ekspedisi BR Cargo, dan sejumlah importir di Tanjung Perak.
  3. Estimasi kerugian negara: lebih dari 2 triliun rupiah per tahun (gabungan sektor rokok dan minuman alkohol).
  4. Sumber laporan: investigasi Redaksi di lapangan, dan wawancara dengan pelaku industri tembakau.
  5. Status hukum: Belum ada proses penyidikan resmi.
  6. Tuntutan publik: Audit Jalur Hijau, penegakan hukum tanpa pandang bulu, dan perlindungan bagi pelapor (whistle blower).

 

(Sumber: dari berbagai sumber)

Penulis: Tim InvestigasiEditor: Redaksi
error: