Kuasa Hukum SNA Tunjukkan Sikap Kurang Nyaman Saat Dikonfirmasi Wartawan

SITUBONDO – Sikap seorang advokat berinisial SLS menuai sorotan. Attitude yang ditunjukkan saat dikonfirmasi wartawan dinilai kurang nyaman, bahkan menyerupai bentuk arogansi intelektual. Hal itu terjadi ketika media ini mencoba meminta penjelasan terkait kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang kemudian merembet pada pelaporan dugaan perzinahan.

Kronologi perkara bermula ketika seorang perempuan berinisial SNA melaporkan suaminya, SI, atas dugaan KDRT. Laporan tersebut diproses Aparat Penegak Hukum (APH) hingga akhirnya SI mendekam di balik jeruji besi.

Namun, dari dalam tahanan, SI balik melaporkan SNA dengan tuduhan perzinahan. Pelaporan tandingan ini kemudian seakan menjadi alasan yang melatarbelakangi mengapa dugaan KDRT itu terjadi.

Tak lama berselang, media nasional Detik1 menayangkan berita tentang laporan dugaan perzinahan tersebut. Dalam pemberitaan, SI turut mengungkapkan alasan yang membuat dirinya melakukan kekerasan kepada istrinya.

Langkah pemberitaan ini rupanya memicu reaksi dari SLS yang mengaku sebagai kuasa hukum SNA. Ia merasa keberatan karena media menuliskan nama terang serta mencantumkan foto disertai keterangan. Menurut SLS, hal itu tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.

Alih-alih menempuh mekanisme Hak Jawab atau melapor ke Dewan Pers, SLS justru menyebarkan opini melalui sejumlah media online. Sikap tersebut menjadi pertanyaan tersendiri, mengingat setiap narasumber memiliki ruang hak jawab resmi sesuai Undang-Undang Pers.

Melihat bahwa konflik dua kepentingan ini berpotensi menimbulkan ‘perang media’, maka wartawan media ini mencoba mengkonfirmasi kedua belah pihak, baik pihak media Detik1 maupun SLS. Saat dikonfirmasi wartawan media ini, SLS malah melontarkan pernyataan panjang. Ia mengklaim bahwa opini yang ia sebarkan muncul lebih dahulu sebelum dirinya diberi kesempatan menyampaikan hak jawab.

“Pertama, Detik1 sudah menelpon saya dan meminta maaf setelah berita itu keluar dan setelah saya kirimi somasi. Mereka mengaku khilaf dan menggunakan informasi keliru. Jadi, yang dimaksud intimidasi itu apa? Saya tidak menyudutkan siapa pun. Saya hanya bekerja sebagai penasehat hukum korban yang diberitakan keliru,” ujar SLS.

Ia menambahkan bahwa permintaan maaf dari wartawan Detik1 tidak diikuti dengan perbaikan berita. “Saya minta dia memperbaiki dan memuat isi somasi. Tapi sampai sekarang tidak ada perbaikan, juga tidak ada permintaan maaf kepada klien kami di media mereka. Itu persoalannya,” imbuhnya.

Namun demikian, dalam proses wawancara, SLS terkesan berusaha menggiring arah pembicaraan keluar dari konteks pertanyaan. Ia sempat mengajak wartawan berdebat soal perbedaan antara opini dan berita.

Wartawan media ini menolak masuk ke ranah tersebut. Sebab, tujuan konfirmasi semata-mata untuk mengklarifikasi duduk perkara, bukan memperdebatkan teori jurnalistik.

Padahal sebelumnya, konfirmasi dilakukan secara sopan melalui sambungan telepon WhatsApp. SLS kemudian mengarahkan agar komunikasi dilanjutkan lewat pesan teks. Sayangnya, jawaban yang diberikan tidak langsung menyentuh inti persoalan.

Sebaliknya, ia justru berputar pada hal-hal di luar konteks, seolah ingin menunjukkan superioritasnya. Sikap demikian menimbulkan kesan arogansi yang patut dipertanyakan, terlebih datang dari seorang yang menyandang profesi advokat.

Harapannya, sikap serupa tidak ditunjukkan oleh advokat lain dalam menjalankan tugasnya, agar hubungan antara penegak hukum, media, dan masyarakat tetap terjaga dalam koridor profesional. Begitu juga imbauan disampaikan kepada seluruh insan pers agar jangan mau dibenturkan satu sama lain oleh pihak yang tidak bertanggung jawab yang hanya mengedepankan ego dan kepentingannya sendiri.

SALAM SATU PENA..!!

Penulis: Hamzah/TimEditor: Redaksi
error: