SITUBONDO – Dua belas tahun lalu, HRM Khalilur R. Abdullah Sahlawiy, yang akrab disapa Ji Lilur, pertama kali menjejakkan kaki di Vietnam. Saat itu, negeri penghasil beras utama di Asia Tenggara itu masih sebatas tempat kunjungan biasa. Namun dalam dekade berikutnya, Vietnam berubah menjadi ladang inspirasi dan jaringan usaha strategis bagi putra Situbondo yang juga dikenal sebagai tokoh agraria nasional ini.
Tahun 2015, ketika banyak rekannya mulai menekuni perdagangan beras dari Vietnam, Ji Lilur justru menolak dengan canda khasnya. “Saya ini orang dusun, rumah saya dikelilingi sawah dari semua arah, hampir semuanya milik Eyang saya. Sudah bosan dengan yang namanya usaha sawah,” kenangnya dengan senyum.
Namun kini, dalam perjalanan bisnisnya yang kesekian ke Vietnam di tahun 2025, tawaran bisnis serupa kembali datang. Bedanya, kali ini datang dari mitra-mitra kelas kakap: para pengusaha besar Vietnam yang juga bermain di sektor batubara dan perikanan budidaya, terutama benih bening lobster (BBL).
“Ajakan berbisnis datang dari lingkungan usaha yang tak bisa saya tolak,” ungkapnya. Tiga sektor yang menjadi simpul dagang utama Indonesia-Vietnam (pertanian, pertambangan, dan perikanan) kini menjadi panggung nyata tempat Ji Lilur bergerak.
Dalam pemaparannya, Ji Lilur menjelaskan bahwa perdagangan beras di Indonesia secara umum terbagi dua: Beras CBP (Cadangan Beras Pemerintah) yang dikelola Bulog, dan Beras Khusus yang memiliki kualitas premium dengan harga tinggi. Dan sikapnya terhadap dua jenis beras ini sangat tegas.
“Saya anti impor beras CBP. Impor jenis itu hanya menghancurkan harga gabah petani. Saya petani, anak petani, cucu petani. Saya marah kalau saat panen harga gabah anjlok,” tegasnya.
Namun berbeda dengan beras khusus. Ji Lilur menilai impor beras khusus tidak membahayakan petani lokal, sebab jenis ini tak ditanam secara masif di Indonesia. Bahkan harganya pun berkisar antara 25 ribu hingga 65 ribu per kilogram.
Menurut data yang ia kutip, kuota impor beras khusus yang ditetapkan Pemerintah RI tahun 2025 mencapai sekitar 420.000 ton. “Saya akan berdagang beras jenis ini. Perdagangan yang tidak menghancurkan petani Indonesia,” imbuhnya.
Perjalanan survei kali ini membawa Ji Lilur ke tiga provinsi lumbung padi utama di Vietnam bagian selatan: Dong Thap, An Giang, dan Can Tho. Di sana, ia menyaksikan ribuan pabrik padi berdiri massif dan modern.
“Saya jadi berhasrat membangun pabrik-pabrik padi di berbagai kabupaten di Indonesia. Seperti yang dilakukan konglomerat Indonesia di Papua: membuka jutaan hektare sawah baru,” ujarnya penuh semangat.
Sebenarnya, niat menjadi petani besar sudah ia tanam sejak tujuh tahun lalu. Namun fokus usaha sempat bergeser ke sektor tambang dan perikanan budidaya. Kini, semangat itu bangkit kembali, ditopang pengalaman dan jaringan selama lebih dari satu dekade terakhir.
Sebagai bagian dari langkah strategis itu, Ji Lilur pun memperkenalkan BAPANTARA Grup (Bandar Pangan Nusantara Grup) sebagai induk dari 18 anak perusahaan yang siap berkiprah dalam dunia pangan nasional.
“BAPANTARA adalah wujud komitmen saya untuk memperjuangkan kedaulatan pangan. Di negara agraris seperti Indonesia, tak boleh ada rakyat yang kelaparan karena tak mampu membeli beras,” tandasnya.
Melalui BAPANTARA Grup, Ji Lilur berharap bisa menghadirkan keadilan sosial dalam bentuk paling nyata: terpenuhinya kebutuhan pangan rakyat dengan harga yang terjangkau, tanpa mengorbankan petani lokal.
“Bismillah,” tutup Ji Lilur. “Salam Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.












