Ketimpangan Sikap DPR atas Putusan MK: Lantang Soal Pemilu, Bungkam Soal Gibran

Oleh: Yuda Yuliyanto (Dosen FISIP Universitas Bondowoso)

SITUBONDO – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini sedang ramai memperbincangkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Hampir semua fraksi kompak bersuara keras, mulai dari forum rapat resmi hingga media sosial. Tak hanya anggota DPR, para elit partai pun ikut meramaikan isu ini, seolah ingin menunjukkan bahwa mereka adalah penjaga demokrasi yang waspada terhadap perubahan sistemik.

Namun sayangnya, sikap kritis ini tidak tampak ketika menyangkut Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang perubahan syarat usia calon wakil presiden. Putusan ini secara substansial jauh lebih kontroversial karena merekayasa norma konstitusi yang sebelumnya sudah jelas: syarat minimal usia capres-cawapres adalah 40 tahun. Tapi putusan MK 90 membuka celah baru dengan dalih “pengalaman sebagai kepala daerah”, sehingga memungkinkan Gibran Rakabuming Raka—yang belum genap 40 tahun—untuk maju sebagai calon wakil presiden.

Pertanyaannya, mengapa DPR begitu vokal soal pemisahan pemilu tetapi bungkam saat syarat pencalonan wakil presiden diubah dengan cara yang problematis? Inilah yang menurut saya menjadi tanda krisis politik dan etika kelembagaan di parlemen.

Putusan MK 135 memang memiliki dampak besar secara teknis, mulai dari beban anggaran hingga potensi fragmentasi politik di daerah. Tetapi Putusan MK 90 justru menyentuh jantung demokrasi: soal fairness dalam kontestasi elektoral dan netralitas lembaga konstitusi. Mengubah syarat capres-cawapres bukan perkara kecil. Ini bukan sekadar soal teknis, tetapi soal komitmen terhadap rule of law.

Namun sayangnya, mayoritas anggota DPR memilih diam. Tak ada gelombang kritik seperti yang terjadi pada Putusan MK 135. Padahal jelas, Putusan MK 90 jauh lebih sarat konflik kepentingan dan berpotensi merusak integritas sistem demokrasi kita. Diamnya DPR bukanlah sekadar sikap netral, melainkan menunjukkan kecenderungan kompromi politik yang tidak sehat.

Baca Juga:
Cak Nono: Santri Visioner Yang Menjunjung Tinggi Kemakmuran dan Keharmonisan

Saya melihat fenomena ini sebagai gejala rekoptasi politik. Di mana fungsi kontrol DPR dibatasi oleh kedekatan dengan pihak-pihak yang sedang berkuasa. DPR hanya aktif bersuara ketika kepentingan institusional atau elektoral mereka terancam, tetapi pasif ketika isu tersebut menyangkut elit kekuasaan yang memiliki akses lebih kuat terhadap sumber daya politik.

Kita harus ingat, DPR adalah bagian dari sistem checks and balances. Mereka seharusnya mengawasi seluruh proses hukum dan kebijakan yang berpotensi menyeleweng dari semangat UUD 1945. Jika DPR hanya memilih bersuara saat merasa terganggu secara langsung, tetapi diam saat terjadi pembajakan konstitusi, maka kepercayaan publik terhadap parlemen akan semakin tergerus.

Sikap ini mencederai demokrasi. Demokrasi yang sehat menuntut konsistensi, bukan keberanian selektif. Kita tidak bisa membiarkan parlemen menjadi institusi yang hanya galak pada isu yang menguntungkan mereka, tetapi membisu saat ada persoalan fundamental yang menyangkut masa depan sistem politik kita.

Sudah saatnya DPR menunjukkan keberanian politik yang sejati—berani bersuara karena prinsip, bukan karena arah angin kekuasaan. Jika tidak, kita sedang menyaksikan pelan-pelan erosi kepercayaan terhadap demokrasi, di mana lembaga perwakilan rakyat justru menjadi bagian dari masalah, bukan solusi.

Sebagai akademisi, saya menulis catatan ini sebagai refleksi dan panggilan moral. Bukan semata untuk mengkritik, tetapi untuk mengingatkan bahwa demokrasi perlu dijaga dengan keberanian bersikap secara adil dan konstitusional, apapun risikonya.

Penulis: Yuda Yuliyanto (artikel)Editor: Redaksi
error: