Opini  

Lemahnya Regulasi, Rangkap Jabatan Wakil Menteri di BUMN jadi polemik

Oleh: Yuda Yuliyanto (Dosen FISIP Universitas Bondowoso)

Indonesia negara besar dengan jumlah penduduk yang padat, sumber daya manusianya juga berkualitas dari segi keilmuan dan pengalamannya, baik dibidang politik, hukum, ekonomi dan sosial budaya. Namun belakang ini masih ramai dengan pejabat yang merangkap jabatan, kayak tidak ada orang lain di negara Indonesia.

Yang lagi viral wakil menteri “wamen” yang merangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi di Badan Usaha Milik Negara “BUMN” menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Banyak pihak mempertanyakan etika, efektivitas, dan legalitas dari praktik tersebut.

Dalam sistem pemerintahan demokratis yang menjunjung prinsip akuntabilitas dan efisiensi birokrasi, rangkap jabatan pejabat negara sejatinya patut dikaji secara kritis.

Rangkap jabatan wamen di BUMN dianggap problematik karena berpotensi menimbulkan Konflik kepentingan mengingat posisi wamen adalah pembantu presiden dalam mengawasi kementerian, sementara jabatan komisaris BUMN menuntut independensi dalam mengawasi manajemen perusahaan.

Tidak hanya itu Beban kerja yang berlebihan, yang dapat menurunkan kualitas pelayanan terhadap publik dan pengambilan kebijakan. Beban ganda, di mana para pejabat menerima penghasilan dari dua sumber berbeda yang berasal dari keuangan negara, menimbulkan pertanyaan moral dan keadilan sosial.

Secara regulasi atau hukum, tidak ada aturan eksplisit yang secara tegas melarang wakil menteri untuk merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN, namun beberapa regulasi perlu dicermati.

Coba kita lihat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Pasal 10 menyatakan bahwa wamen adalah pejabat yang membantu menteri dan bukan pejabat struktural kementerian. Wamen bukanlah ASN, sehingga tidak tunduk pada aturan kepegawaian ASN secara penuh.

Juga Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN, Pasal 33 menyatakan bahwa komisaris BUMN tidak boleh merangkap jabatan yang dapat menimbulkan benturan kepentingan.

Baca Juga:
Pengoplosan Beras: Sebuah Pengkhianatan Terhadap Etika Publik dan Ketahanan Nasional

UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, juga menyiratkan pentingnya prinsip profesionalitas, efektivitas, dan bebas dari konflik kepentingan dalam menjalankan tugas pejabat publik.

Dengan demikian, meskipun secara tekstual tidak ada larangan absolut, secara substansi hukum tata pemerintahan yang baik, rangkap jabatan wamen di BUMN berpotensi bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang baik “good governance”.

Praktik ini juga menimbulkan kekecewaan publik karena Menunjukkan adanya praktik pembagian jabatan untuk kepentingan politik atau balas jasa, bukan berdasarkan kebutuhan organisasi atau kapabilitas individu.

Ini akan Memperkuat kesan bahwa BUMN dijadikan ladang basah untuk elite politik, mengurangi kepercayaan publik terhadap pengelolaan kekayaan negara.

Sehingga Menimbulkan ketimpangan, sementara masyarakat diminta berhemat dan profesional, pejabat publik justru diberi ruang untuk menumpuk jabatan dan penghasilan.

Terakhir yang ingin saya sampaikan Pemerintah dan DPR perlu merevisi atau memperjelas regulasi, agar ada batasan eksplisit bagi pejabat publik dalam merangkap jabatan, khususnya di BUMN.

Presiden harus menunjukkan keteladanan dengan menghindari penunjukan rangkap jabatan demi menjaga kredibilitas pemerintahan. Tidak hanya itu KPK dan Ombudsman dapat melakukan kajian atau rekomendasi etik terhadap praktik rangkap jabatan ini, mengingat potensi konflik kepentingan dan kerugian publik sangat nyata.

Rangkap jabatan wakil menteri di BUMN adalah praktik yang lemah dari sisi etika tata kelola dan akuntabilitas publik. Meskipun belum secara eksplisit dilarang dalam peraturan yang berlaku, semangat konstitusi dan prinsip pemerintahan yang bersih dan profesional seharusnya menjadi acuan utama.

Pemerintah sebaiknya segera meninjau ulang praktik ini, bukan hanya karena tuntutan hukum, tetapi karena desakan moral dari masyarakat yang menginginkan tata kelola negara yang bersih, efisien, dan adil.

Baca Juga:
Pengoplosan Beras: Sebuah Pengkhianatan Terhadap Etika Publik dan Ketahanan Nasional
Editor: Redaksi
error: