Fenomena pengoplosan beras kembali mencuat, memperlihatkan betapa masyarakat terus menjadi korban praktik culas para pelaku usaha yang haus keuntungan. Beras premium dicampur dengan beras kualitas rendah, bahkan tak layak konsumsi, demi meraup untung besar.
Ironisnya, diskursus akademik yang mendalam mengenai praktik ini, melampaui sekadar aspek hukum dan perlindungan konsumen, masih sangat terbatas. Oleh karena itu, saya akan mengulas praktik pengoplosan beras dari perspektif etika publik, keamanan pangan nasional, dan ketahanan nasional.
Mengoplos beras bukan hanya pelanggaran hukum perdagangan, melainkan tindakan yang menciderai etika publik. Menurut teori etika deontologis Kantian, tindakan ini tidak bermoral karena melanggar kewajiban moral universal. Ini adalah bentuk kebohongan sistematis dan terstruktur terhadap konsumen yang menaruh kepercayaan pada merek, harga, dan kualitas produk sebagai representasi kebenaran.
Praktik semacam ini merupakan pengkhianatan sosial karena menyasar masyarakat luas yang sangat bergantung pada beras sebagai sumber pangan utama. Dalam teori ekonomi, praktik ini menciptakan informasi asimetris yang mengakibatkan “market failure” atau kegagalan pasar, di mana salah satu pihak menyembunyikan kebenaran. Konsumen tidak hanya dirugikan secara ekonomi, tetapi juga berpotensi menghadapi risiko kesehatan serius.
Meskipun Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan telah mewajibkan jaminan mutu dan keamanan pangan, lemahnya pengawasan di tingkat hilir menjadi celah besar bagi para pelaku usaha nakal untuk terus beroperasi. Praktik pengoplosan beras secara terang-terangan menunjukkan disparitas antara kebijakan pangan yang bersifat normatif dengan implementasi faktual di lapangan.
Ketahanan pangan bukan hanya soal kecukupan pasokan, tetapi juga terkait jaminan kualitas dan keamanan. Fenomena ini memperlihatkan bahwa persoalan pangan kita tidak hanya rentan pada aspek kuantitas produksi dan distribusi, melainkan juga pada integritas rantai pasok.
Pengoplosan beras juga merupakan bentuk sabotase terhadap legitimasi negara sebagai penjamin kesejahteraan publik. Ketika negara gagal menjamin kualitas pangan dasar rakyatnya, kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara dapat terkikis. Ini sejalan dengan teori kontrak sosial, di mana negara yang abai terhadap mandat moral dan konstitusinya karena gagal melindungi kebutuhan dasar warganya.
Langkah pemerintah dalam menindak tegas pengoplos beras memang sangat penting. Namun, pendekatan penegakan hukum semata tidak akan cukup. Diperlukan reformasi struktural yang lebih komprehensif.
Sebagai penutup, beras oplosan bukanlah sekadar isu ekonomi mikro atau pengelabuan konsumen. Ini adalah cerminan dari kegagalan integritas rantai pasok pangan, lemahnya budaya etika bisnis, dan absennya pengawasan negara dalam sektor yang paling strategis ini.
Masyarakat tidak hanya membutuhkan beras yang murah dan tersedia, tetapi juga beras yang jujur dan berkualitas. Dari sanalah kesejahteraan dan kepercayaan masyarakat dapat dibangun. Sudah saatnya kita menuntut tidak hanya ketersediaan, tetapi juga kejujuran dalam setiap butir beras yang kita konsumsi.


