SITUBONDO – Fenomena juru parkir liar (jukir liar) yang beroperasi di jalan nasional dan provinsi di Situbondo kian merajalela. Padahal, secara aturan, penempatan juru parkir di jalan nasional maupun jalan provinsi tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Sayangnya, aktivitas tersebut justru dilakukan oleh warga umum yang tidak memiliki kewenangan maupun legalitas apapun.
Ironisnya, kondisi ini seakan dibiarkan begitu saja. Pejabat berwenang (dalam hal ini Dinas Perhubungan serta Dinas terkait lainnya) terkesan tutup mata dan tutup telinga terhadap praktik parkir liar yang terus berlangsung di depan publik.
Pantauan di lapangan, sejumlah ruas jalan utama seperti jalur Pantura Situbondo, kawasan Jl. A. Yani (area depan Toko Percetakan Telasih, area depan Depot Soto Fauzi) hingga seputaran Alun-alun Situbondo dipenuhi jukir liar. Trotoar Alun-alun menjadi area parkir gratis (LS: Dinas Lingkungan Hidup). Bahkan, badan jalan yang semestinya diperuntukkan untuk jalur sepeda justru dipenuhi kendaraan parkir.

Mereka memungut tarif parkir kepada pengendara tanpa dasar hukum yang jelas. Selain tanpa seragam resmi, para jukir liar ini juga tidak pernah menunjukkan karcis atau tanda retribusi resmi dari pemerintah.
“Jalan nasional itu mestinya steril dari parkir sembarangan, apalagi dipungut biaya seenaknya. Ini jelas pelanggaran, tapi kok dibiarkan?” ujar Sahrul, warga Kecamatan Panarukan, Selasa (16/7/25).
Ada beberapa alasan mengapa penempatan juru parkir di jalan nasional dan provinsi harus dibatasi dengan ketat. Pertama, karena aktivitas parkir di bahu jalan dapat mengganggu kelancaran lalu lintas. Ruang gerak kendaraan menjadi sempit, memicu antrean kendaraan bahkan berisiko menyebabkan kemacetan.
Kedua, dari sisi keamanan, penumpukan kendaraan parkir di pinggir jalan bisa membahayakan pengguna jalan lain. Terutama di titik-titik rawan seperti tikungan, persimpangan, atau jalur dengan pandangan terbatas. Kecelakaan lalu lintas pun berpotensi meningkat.
Ketiga, secara hukum, aturan tentang penggunaan jalan telah diatur dengan tegas. Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan maupun Peraturan Daerah melarang parkir di tempat yang dapat mengganggu ketertiban dan keamanan lalu lintas. Penempatan juru parkir pun harus melalui izin resmi dari pemerintah daerah dengan mempertimbangkan banyak aspek, termasuk rekomendasi dari dinas perhubungan dan kepolisian.
Keempat, tanggung jawab penertiban ada di tangan pemerintah. Baik pemerintah kabupaten maupun provinsi berkewajiban menjaga kelancaran arus lalu lintas dan memastikan ruang publik tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Namun faktanya, hingga saat ini belum ada langkah konkret dari pihak terkait untuk menertibkan praktik jukir liar tersebut. Warga menilai, pemerintah daerah kurang tegas dalam menerapkan aturan. Jika dibiarkan, kondisi ini akan terus menimbulkan keresahan dan berpotensi menimbulkan konflik antara jukir liar dengan masyarakat pengguna jalan.
“Kalau memang tidak mampu menertibkan, ya kelola sekalian secara resmi. Jangan dibiarkan liar seperti sekarang ini,” tegas Zainul, seorang petugas koperasi di Situbondo.
Warga mendesak agar ada tindakan nyata, bukan sekadar pernyataan normatif di media. Pemerintah harus menentukan sikap tegas: ditertibkan atau dikelola secara resmi dengan mekanisme yang jelas dan akuntabel.
Jika terus dibiarkan, praktik jukir liar di jalan nasional dan provinsi akan menjadi preseden buruk bagi tata kelola ruang publik di Situbondo.