Koridor Etika Demokrasi: Media dan LSM Menjaga Stabilitas Pemerintahan

Oleh: Yuda Yulianto (Dosen FISIP Universitas Bondowoso)

SITUBONDO – Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menganut sistem demokrasi yang sehat, wartawan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memiliki fungsi sangat vital sebagai kontrol sosial terhadap jalannya pemerintahan. Keduanya berperan sebagai penjaga transparansi, akuntabilitas, serta pembela kepentingan publik, utamanya wartawan sebagai pilar ke-4 demokrasi.

Seiring berjalannya waktu, muncul kekhawatiran bahwa sebagian kecil dari aktor-aktor ini kadang menyimpang dari peran idealnya bukan lagi menjadi mitra kritis pemerintah, melainkan justru menjadi pengganggu stabilitas pemerintahan dengan cara-cara yang tidak konstruktif.

Dalam teori demokrasi deliberatif yang dikembangkan oleh Habermas ruang publik seharusnya menjadi arena di mana wacana rasional dikembangkan demi menghasilkan keputusan yang adil dan ideal.

Namun jika ruang ini dikotori oleh narasi spekulatif dan juga tekanan yang bersifat pemerasan atau bahkan pelaporan media yang sengaja dibumbui untuk menjatuhkan pemerintah tanpa dasar yang kuat, maka wartawan dan LSM tidak akan lagi menjadi mitra dalam demokrasi melainkan aktor disfungsi sosial politik.

Sebagai fungsi kontrol sosial yang dijalankan oleh wartawan dan LSM harus tetap berada dalam kerangka hukum, etika profesi, dan kepentingan publik yang objektif. Namun ketika investigasi atau kritik dilakukan secara serampangan tanpa verifikasi atau bahkan hanya didasarkan pada kepentingan kelompok tertentu misalnya, maka hal ini bukan hanya mencemari profesi, tetapi juga menciptakan instabilitas kebijakan publik dan memperburuk citra pemerintah di mata masyarakat.

Pers harus menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan etika jurnalistik, sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Begitu pula dengan LSM, yang dalam menjalankan tugas dan fungsinya diatur dalam regulasi legal seperti Undang-Undang Yayasan dan Undang-Undang Perkumpulan serta tunduk pada norma sosial dan moralitas publik.

Baca Juga:
RAKESA Targetkan Satu Juta Pohon Kelapa di Situbondo Jadikan Indonesia Pusat Industri Kelapa Dunia

Pemerintahan yang stabil juga bergantung pada sinergi yang baik. Dalam hal ini yaitu wartawan dan LSM seharusnya tidak hanya mengkritik, akan tetapi juga menyampaikan solusi alternatif yang masuk akal. Kritik yang baik merupakan kritik yang mendidik dan membangun, bukan yang mendemoralisasi atau menghasut.

Menjaga Keseimbangan antara Kritik dan Kolaborasi, Pemerintah yang kuat membutuhkan kontrol sosial dari semua unsur elemen masyarakat, namun kontrol yang sehat yang dilakukan dalam semangat gotong royong, kolaborasi dan tanggung jawab. Dalam konteks ini peran media dan LSM sangat dibutuhkan untuk memberikan masukan dalam menciptakan ruang diskusi publik serta memfasilitasi komunikasi dua arah antara masyarakat dan pemerintah.

Sebaliknya pemerintah juga perlu membuka diri terhadap kritik, menyediakan ruang partisipatif yang inklusif, serta menghargai kerja-kerja investigasi yang berdasar. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil akan memperkuat fondasi demokrasi serta meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan yang baik.

Demokrasi tidak hanya sekadar kontestasi merebut kekuasaan akan tetapi sebagai ruang diskursus publik yang sehat. Jika peran ini disalahgunakan untuk mengganggu stabilitas pemerintah secara sistematis maka yang terjadi bukanlah koreksi kekuasaan, melainkan sabotase terhadap jalannya pembangunan dan pelayanan publik. Sehingga kesadaran etis dan profesional harus menjadi landasan utama dalam setiap langkah kritik dan advokasi yang dilakukan.

Penulis: YudaEditor: Redaksi
error: