Penguatan Sektor Tembakau dan Urgensi Subsidi Pupuk: Paparan Lengkap Anggota Komisi VI DPR-RI H.M. Nasim Khan

NASIONAL (SBINews.id) — Dalam sebuah forum dialog pembangunan daerah, Anggota Komisi VI DPR-RI dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, H.M. Nasim Khan, menyampaikan paparan komprehensif mengenai urgensi penguatan sektor tembakau nasional, termasuk pentingnya menetapkan tembakau sebagai komoditas yang berhak menerima subsidi pupuk. Penjelasan tersebut disampaikan di hadapan petani, pelaku industri, pemangku kebijakan daerah, dan akademisi yang hadir mengikuti diskusi strategis tersebut.

Kontribusi Tembakau yang Masih Menjadi Penopang Fiskal Nasional

Dalam pemaparannya, Nasim menegaskan bahwa sektor tembakau hingga saat ini tetap memberikan kontribusi besar dan berkelanjutan pada perekonomian Indonesia. Data tahun 2025 menunjukkan, meskipun menghadapi tekanan regulasi dan perubahan pola konsumsi, industri tembakau masih menjadi tulang punggung penerimaan fiskal negara.

Pemerintah menargetkan penerimaan dari Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada 2025 sebesar Rp.230,09 triliun — menjadikannya salah satu penyumbang pendapatan dalam negeri terbesar di luar migas. Hingga Mei 2025, realisasi penerimaan telah mencapai Rp.87 triliun, atau 37,8% dari target. “Angka ini adalah bukti nyata bahwa sektor tembakau masih menjadi salah satu penopang stabilitas fiskal nasional,” ujar Nasim.

Selain dari sisi cukai, komoditas ini juga memberikan kontribusi devisa melalui ekspor daun tembakau dan produk olahan yang terus tumbuh positif dari tahun ke tahun. Hal ini semakin mempertegas posisi strategis tembakau dalam memperkuat neraca perdagangan Indonesia.

Lebih dari 8,3 Juta Tenaga Kerja Menggantungkan Hidup

Di level sosial-ekonomi, Nasim menekankan bahwa tembakau merupakan “pilar penghidupan” bagi jutaan warga. Sedikitnya 2,3 juta keluarga petani menggantungkan nasib pada tanaman ini, terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat. Pada sisi hilir, industri rokok menyerap lebih dari 6 juta tenaga kerja, mencakup buruh pabrik, pekerja linting, logistik, distribusi, hingga UMKM ritel.

Baca Juga:
Wabup Tidak Hadir? Aktivis Muda Kritik Selebrasi Bupati Situbondo atas Piala Adipura

“Rantai nilai tembakau bukan hanya menghidupkan ekonomi desa, tetapi juga menopang daya beli masyarakat kecil. Multiplier effect-nya luas dan nyata,” terang Nasim.

Produksi Daun Tembakau Nasional Menembus 240 Ribu Ton

Produksi nasional daun tembakau pada 2025 diproyeksikan mencapai 240 ribu ton, di mana 55% di antaranya berasal dari petani Jawa Timur. Bagi banyak wilayah, tembakau bukan hanya komoditas pertanian semata, namun telah menjadi identitas budaya agraris yang diwariskan lintas generasi.

Namun, petani masih menghadapi tiga persoalan utama: biaya input produksi yang tinggi, keterbatasan pupuk bersubsidi, dan fluktuasi harga barang pertanian. Kondisi ini menjadi tantangan serius bagi keberlanjutan usaha tani tembakau.

Urgensi Menetapkan Tembakau sebagai Penerima Subsidi Pupuk

Menurut Nasim, sudah saatnya pemerintah kembali menempatkan tembakau sebagai komoditas yang berhak atas subsidi pupuk, mengingat kontribusinya yang sangat besar.

Ia merumuskan tiga argumen kebijakan:

  1. Keadilan Ekonomi
    Petani tembakau memiliki struktur usaha yang serupa dengan petani tanaman pangan dan perkebunan lainnya. Tanpa subsidi, daya saing mereka terus melemah.
  2. Efisiensi Fiskal
    Subsidi pupuk bukan beban baru, melainkan reinvestasi atas kontribusi cukai tembakau yang besar terhadap APBN.
  3. Stabilitas Ketenagakerjaan dan UMKM
    Penurunan biaya produksi akan menjaga keberlanjutan industri rokok nasional, yang menyerap jutaan tenaga kerja dan ribuan UMKM.

Rekomendasi Kebijakan

Nasim mengusulkan tiga langkah konkret:

  • Menetapkan tembakau sebagai komoditas prioritas penerima subsidi pupuk melalui revisi aturan pupuk bersubsidi 2025.
  • Mengintegrasikan program Pubers (Pemberdayaan Petani Rakyat) TA 2026 agar distribusi pupuk tepat sasaran untuk petani tembakau rakyat.
  • Memperkuat koordinasi lintas kementerian — Pertanian, Keuangan, Perindustrian, dan Ketenagakerjaan — guna menyinergikan kebijakan hulu-hilir.

Petani Tembakau sebagai Penjaga Peradaban Agraris Indonesia

Dalam sesi kedua, Nasim memperluas penjelasannya mengenai peran petani dan posisi strategis tembakau dalam kehidupan bangsa. Ia menyebut petani sebagai “tulang punggung ekonomi nasional” yang tidak hanya memproduksi bahan pangan dan industri, tetapi juga menjaga budaya agraris dan ketahanan pangan.

Baca Juga:
Petahana Berpeluang Besar Memanfaatkan Jabatan Untuk Curi Start Kampanye

Tembakau, kata Nasim, merupakan komoditas bernilai tinggi yang telah membentuk identitas daerah seperti Temanggung, Wonosobo, Jember, Lombok, dan Madura. Lebih dari 6 juta orang menggantungkan hidup pada ekosistem tembakau dari hulu ke hilir.

Namun tantangan yang dihadapi petani cukup kompleks: ketidakstabilan harga, kebijakan cukai, ketergantungan ekonomi pada satu komoditas, hingga perubahan iklim. Karena itu, perlu kebijakan yang seimbang antara kontrol konsumsi, ekonomi nasional, dan kesejahteraan petani.

Harapan untuk Masa Depan Petani Tembakau

Nasim menawarkan beberapa arah penguatan:

  • modernisasi teknologi budidaya dan pascapanen,
  • penguatan koperasi dan akses permodalan,
  • diversifikasi tanaman untuk mengurangi risiko,
  • kebijakan pemerintah yang berpihak pada keberlanjutan ekonomi petani.

Ia menyebut petani tembakau sebagai simbol ketekunan dan keteguhan hati bangsa. “Tembakau bukan sekadar daun. Ia adalah wujud perjuangan ekonomi rakyat kecil,” ungkapnya.

Bagaimana Dana Cukai Tembakau Mengalir ke BPJS Kesehatan?

Selain membahas sektor pertembakauan, Nasim juga menyinggung pertanyaan publik mengenai apakah BPJS Kesehatan mendapat dana dari cukai rokok. Jawabannya: Ya, tetapi tidak langsung dan bersifat parsial.

1. Mekanisme Hukum dan Pembagian Dana

Berdasarkan PMK No. 215/2021 dan PMK No. 206/2023, sebagian dana dari Cukai Hasil Tembakau (CHT) disalurkan ke daerah lewat Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Minimal 50% dari DBHCHT digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk pendanaan iuran BPJS Kesehatan untuk masyarakat miskin.

Dana ini digunakan daerah untuk:

  • membayar iuran BPJS Kesehatan kategori PBID (Peserta Bantuan Iuran Daerah),
  • meningkatkan fasilitas kesehatan,
  • mendukung program promotif dan preventif.

2. Dukungan dari APBN

Di tingkat pusat, sebagian penerimaan cukai dipakai untuk menutupi defisit anggaran JKN. Kementerian Keuangan mencatat biaya penyakit akibat rokok mencapai Rp10,5–15,6 triliun per tahun, sehingga sebagian hasil cukai menjadi sumber pendukung pembiayaan kesehatan.

Baca Juga:
Isu Pembubaran DPR, Supriyono: “Tidak Mungkin! Yang Perlu Dibenahi adalah Sistemnya!”

3. Contoh Daerah yang Sudah Mengalirkan Dana Cukai ke BPJS

  • Bojonegoro (2025): melunasi premi BPJS masyarakat miskin menggunakan dana cukai.
  • Bondowoso: DBHCHT digunakan untuk BPJS Ketenagakerjaan buruh tembakau dan sebagian untuk BPJS Kesehatan PBID.
  • Provinsi Jawa Timur (2024): lebih dari Rp1,4 triliun DBHCHT dialokasikan untuk sektor kesehatan.

4. Penting Dipahami Publik

  • Tidak semua daerah menerima DBHCHT jumlah besar.
  • Dana cukai tidak otomatis menyelesaikan defisit BPJS; hanya penopang tambahan.
  • Fungsi utama cukai tetap pengendalian konsumsi produk tembakau. 

Melalui paparan H.M. Nasim Khan, terlihat jelas bahwa sektor tembakau bukan sekadar komoditas agraris, tetapi komponen penting dalam struktur ekonomi nasional. Kontribusi fiskalnya besar, daya serap tenaga kerjanya luas, dan perannya dalam menjaga ekonomi pedesaan sangat signifikan. Karena itu, wacana penguatan kebijakan, termasuk pemberian subsidi pupuk bagi petani tembakau, bukan hanya berorientasi ekonomi, tetapi juga menyangkut keberlanjutan sosial dan kesejahteraan jutaan keluarga.

Penulis: Hamzah - Sumber: WAGEditor: Hamzah
error: