Kredibilitas Intelektualitas Militer dan Budaya Senioritas Konyol: Kegelisahan Seorang Novie Sabdho Sembodho

Narasi ini ditulis dengan gaya "Saya" sebagai Subyek

SBINews.id – Saya menyampaikan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas wafatnya Prajurit Dua (Anumerta) TNI Lucky Chepril Saputra Namo atau Prada Lucky Namo. Semoga pengabdiannya kepada bangsa dan negara menjadi amal terbaik di sisi Tuhan Yang Maha Esa.

Setiap napas seorang prajurit adalah amanah Ibu Pertiwi. Panggilan tugas itu bukan sekadar profesi, melainkan sumpah hidup untuk menjaga kedaulatan negeri. Gelar “anumerta” saya sebutkan dengan penuh kesadaran: sebagai penghormatan atas niat, tekad, dan keberanian almarhum menjalani perannya hingga akhir hayat.

Namun setelah mengikuti jalannya kasus kematian Prada Ricky Namo, saya merasa terpukul. Sebagai mantan prajurit yang besar dalam kultur militer, saya menyadari bahwa peristiwa tragis ini telah menodai wajah moral TNI —khususnya TNI AD— di mata publik.

Intelektualitas Militer: Esensi yang Mulai Dilupakan

Intelektualitas militer bukan sekadar kemampuan berpikir cepat dalam situasi tempur. Ia adalah kapasitas berpikir kritis, analitis, dan strategis untuk memahami masalah kemanusiaan, etika, serta penerapan teknologi dan taktik secara proporsional dalam konteks tugas.

Setiap pangkat, sekecil apa pun, memiliki nilai dan peran strategisnya. Tidak ada jabatan yang hina selama individu memahami tanggung jawabnya dengan sadar. Namun, intelektualitas itu hanya tumbuh bila disiplin militer berpadu dengan nalar kemanusiaan, bukan kekerasan membabi buta.

Masih ada sebagian kecil prajurit yang menafsirkan loyalitas secara sempit: bahwa menjadi tentara berarti harus ditakuti, bukan disegani. Mereka menyamakan kepatuhan dengan ketundukan, dan senioritas dengan hak untuk mempermalukan. Padahal loyalitas yang lahir dari rasa hormat akan melahirkan esprit de corps sejati—rasa kebersamaan yang tak tergoyahkan bahkan di ambang maut.

Kasus Prada Ricky Namo: Cermin Gagalnya Nalar Moral

Baca Juga:
RUPANUSA: Platform Digital Terintegrasi untuk Revolusi Perdagangan Nusantara

Tragedi ini tidak sekadar kasus kekerasan dalam tubuh militer; ia adalah indikator kegagalan pembinaan mental dan sistem pendidikan keprajuritan. Ketika kekerasan dibungkus atas nama “pendidikan” dan “pembentukan karakter”, yang lahir bukan prajurit tangguh, melainkan pelaku kekejaman yang bersembunyi di balik seragam.

Akibatnya, publik melihat TNI dengan kacamata kelam: institusi yang keras tapi dangkal, kuat tapi tidak bijak. Padahal banyak prajurit dan perwira yang berpikir modern, berpendidikan tinggi, dan menjaga kehormatan profesi dengan luar biasa. Mereka justru teredam oleh suara minor yang berisik dan destruktif.

Loyalitas Sejati Tidak Pernah Takut Berpikir

Ada satu pepatah yang sering saya dengar: “Lebih baik punya anak buah yang loyal tapi bodoh, daripada yang cerdas tapi pembangkang“.

Bagi saya, pepatah ini adalah bentuk kesesatan berpikir. Seorang pemimpin sejati justru berani mengelola anak buah yang cerdas. Kecerdasan tidak berbahaya bagi kepemimpinan yang kuat. Yang berbahaya adalah atasan yang takut pada pikiran bawahan.

Diskusi dan keterbukaan tidak meruntuhkan wibawa. Justru di sanalah lahir keputusan-keputusan yang strategis dan berkeadilan. Karena pangkat tidak menjamin kebijaksanaan; yang menjaminnya adalah integritas berpikir dan kejujuran hati.

Napoleon Bonaparte pernah berkata, “Jika kau memiliki seratus singa yang dipimpin seekor anjing, mereka akan bertarung seperti anjing. Tapi jika seratus anjing dipimpin seekor singa, mereka akan bertarung seperti singa“.

TNI tidak membutuhkan lebih banyak “anjing” yang menakuti. Ia butuh lebih banyak “singa” yang berpikir.

Penutup

Tulisan ini bukan bentuk pembangkangan terhadap TNI, melainkan panggilan moral untuk menjaga kemurnian nilai-nilai keprajuritan. Kita tidak boleh menutup mata terhadap perilaku destruktif yang mencederai kehormatan seragam.

Baca Juga:
Bandar Laut Dunia Grup Targetkan Penaklukan Pasar Perikanan Budidaya Global

TNI dibangun oleh disiplin, tapi harus digerakkan oleh intelektualitas. Sebab tanpa pikiran, kekuatan hanyalah kekerasan. Dan tanpa kemanusiaan, loyalitas hanyalah ketakutan yang disamarkan.

Semoga peristiwa seperti yang menimpa Prada Lucky Namo tidak pernah terulang lagi. Indonesia membutuhkan tentara yang berpikir dengan otak, bertindak dengan hati, dan setia dengan nurani.

Penulis: Movie Sabdho SembodhoEditor: Hamzah
error: