Praktisi Hukum Kritik Keras Wacana Penyitaan Lahan Terlantar

Oleh: Dr. H. Supriyono, S.H., M.Hum.

SBINews.id – Pernyataan kontroversial Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, terkait penyitaan lahan yang dianggap terlantar selama dua bulan, memicu kritik tajam dari berbagai kalangan.

Salah satunya datang dari praktisi hukum Dr. H. Supriyono, S.H., M.Hum., atau biasa dipanggil Ji Yon, yang menilai pernyataan tersebut sebagai bentuk ketidakpahaman terhadap hukum pertanahan di Indonesia.

“Pernyataan Menteri ATR/BTN itu keblinger (sesat/keliru),” tegas Ji Yon dalam sebuah wawancara. Ia menyebut bahwa pernyataan tersebut tidak hanya keliru secara hukum, tetapi juga berpotensi merugikan pemilik tanah yang sah.

Menurutnya, penyitaan lahan tidak bisa dilakukan secara sepihak tanpa melalui prosedur hukum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Ji Yon menjelaskan bahwa UU No. 5/1960 telah mencabut ketentuan dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW: Burgerlijk Wetboek) terkait benda dan hipotek, karena asas Lex Specialis Derogat Legi Generali (aturan khusus mengesampingkan aturan umum), artinya landasan hukum yang bisa diabaikan.

Dalam UU tersebut, telah diatur secara rinci mengenai Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai, serta prosedur peralihan hak seperti jual beli, hibah, wakaf, dan penyerahan.

“Kalau tanah itu bukan milik negara, tidak bisa serta-merta diambil alih atau disita hanya karena dianggap terlantar,” ujar Ji Yon.

Ji Yon menekankan bahwa meskipun tanah tersebut tidak dimanfaatkan, status hak milik tetap harus dihormati dan dilindungi oleh hukum. Bahkan dalam kasus HGB dan HGU milik perusahaan, proses pencabutan hak tidak bisa dilakukan sembarangan karena tanah tersebut awalnya berasal dari hak milik pribadi yang telah dilepaskan secara sah.

Baca Juga:
HRM Khalilur R Abdullah Sahlawiy: Menyibak Kemustahilan Budi Daya Lobster

Ji Yon juga mengingatkan bahwa warga yang tanahnya terancam disita memiliki hak untuk melakukan perlawanan hukum. “Bisa lewat gugatan perdata, atau bahkan pidana jika ada unsur penyerobotan,” katanya.

Ji Yon menilai bahwa pernyataan Menteri ATR/BTN yang menyebut tanah terlantar dua bulan bisa langsung menjadi milik negara adalah “kebacut” -terlalu berlebihan- dan tidak berdasar hukum.

Dalam unggahan di media sosial, Ji Yon kembali menyoroti ketidakakuratan pernyataan Menteri ATR/BTN. Ia menyebut bahwa Nusron Wahid lebih mengedepankan retorika daripada pemahaman hukum yang mendalam.

“Mulutmu adalah harimau-mu,” tulisnya, mengutip pepatah yang menggambarkan bahaya dari pernyataan yang sembrono.

Di akhir pernyataannya, Ji Yon menyerukan agar Presiden Republik Indonesia mengevaluasi posisi Nusron Wahid sebagai Menteri ATR/BPN. Ia menyarankan agar jabatan tersebut diisi oleh figur yang lebih memahami seluk-beluk hukum pertanahan dan tidak gegabah dalam membuat pernyataan publik.

“Kalau memang jabatan itu politis, Golkar punya banyak kader lain yang lebih kapabel,” pungkasnya.

Artikel ini mencerminkan ketegangan antara kebijakan pemerintah dan perlindungan hukum atas hak kepemilikan tanah, serta membuka ruang diskusi publik mengenai pentingnya kehati-hatian dalam merumuskan kebijakan agraria.

Penulis: Dr. H. Supriyono, S.H., M.Hum.Editor: Hamzah
error: