SITUBONDO – Di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang belum stabil, muncul sebuah realitas yang ironis: kenaikan pajak di berbagai daerah disusul dengan kenaikan tunjangan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Fenomena ini memicu polemik dan menimbulkan pertanyaan besar di ruang publik. Kebijakan ini terasa janggal, seolah para wakil rakyat abai terhadap realita ekonomi yang sedang dihadapi oleh rakyatnya sendiri.
Kenaikan tunjangan ini seolah menegaskan adanya ketimpangan antara elit dan rakyatnya. Di saat masyarakat masih bergulat dengan kenaikan harga kebutuhan pokok, daya beli yang stagnan, dan tingginya angka pengangguran, keputusan menaikkan tunjangan DPR menimbulkan kesan bahwa para wakil rakyat lebih mengutamakan kesejahteraan pribadi. Jurang ketidakadilan pun semakin lebar antara para elit politik dengan rakyat yang seharusnya mereka wakili.
Secara etika politik, seorang pemimpin atau wakil rakyat seharusnya menempatkan kepentingan publik sebagai prioritas utama. Kenaikan tunjangan di tengah kesulitan rakyat dapat dikategorikan sebagai moral hazard, di mana kekuasaan cenderung digunakan untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan bersama. Hal ini menunjukkan kurangnya kepekaan dan empati politik dari para pemangku jabatan.
Selain itu, dalam kerangka ekonomi politik, keputusan menaikkan tunjangan DPR juga memperlihatkan adanya dominasi elit dalam alokasi sumber daya negara. Saat anggaran publik lebih banyak dialokasikan untuk kepentingan birokrasi dan politik, fungsi distribusi negara menjadi pincang. Alih-alih digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, anggaran justru berbalik arah untuk menguntungkan segelintir orang.
Kebijakan publik yang adil dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat adalah pondasi utama untuk membangun demokrasi yang sehat. Pejabat publik dituntut untuk menunjukkan empati dan solidaritas sosial, serta mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Kenaikan tunjangan DPR saat ini seolah menjadi bukti nyata bahwa fondasi tersebut sedang diabaikan, dan keadilan sosial kini hanya menjadi utopia.