Berita  

Meretas Aktor di Balik Transaksi Ilegal BBM Solar Bersubsidi: Saat Rekomendasi Nelayan Jadi Ladang Bisnis Gelap

SITUBONDO – Di balik kemelut distribusi BBM bersubsidi di Situbondo, terindikasi praktik gelap yang melibatkan jaringan aktor terstruktur lintas sektor. Solar bersubsidi yang sejatinya diperuntukkan bagi nelayan kecil justru mengalir ke jaringan ilegal yang diduga melibatkan oknum aparat penegak hukum (APH), pejabat dinas, hingga elemen tertentu dari organisasi kemasyarakatan (ormas).

Modus operandi praktik ini tergolong rapi dan sistematis. Proses dimulai dari penerbitan rekomendasi pembelian BBM bersubsidi untuk nelayan, yang dikeluarkan oleh salah satu dinas. Namun, berdasarkan hasil penelusuran dan laporan dari masyarakat, sejumlah rekomendasi tersebut ternyata fiktif. Nama kelompok nelayan digunakan tanpa sepengetahuan mereka, atau bahkan kelompok itu sama sekali tidak aktif.

“Surat rekomendasi keluar, tapi nelayannya tidak pernah minta. Mereka hanya dipinjam namanya,” ujar seorang sumber internal yang enggan disebutkan namanya.

Rekomendasi fiktif itu kemudian digunakan di beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) untuk membeli solar dalam jumlah besar. Pengisian dilakukan dengan menggunakan jeriken atau kendaraan modifikasi berkapasitas tinggi. Setelah dikumpulkan, BBM solar itu lalu dibawa ke gudang-gudang penampungan tersembunyi di wilayah pedalaman atau area yang minim pengawasan publik.

BBM yang berhasil dikumpulkan tidak lagi digunakan untuk kegiatan perikanan, melainkan dijual kembali ke industri atau pelaku transportasi besar dengan harga non-subsidi. Keuntungan besar pun diperoleh dari selisih harga jual yang jauh lebih tinggi dibanding harga subsidi.

Skema ini tidak berdiri sendiri. Dugaan kuat mengarah pada keterlibatan oknum APH yang seharusnya menindak pelanggaran, namun justru ikut menikmati setoran bulanan. “Ada ‘pengkondisian’ agar aman. Oknum tertentu diam, karena dapat jatah,” ungkap salah satu narasumber.

Tidak hanya aparat, beberapa oknum dari ormas berskala nasional juga disebut-sebut ikut dalam pusaran praktik ini. Mereka berperan dalam mengamankan distribusi, menjadi makelar rekomendasi, atau sebagai operator pengangkutan. Peran mereka digunakan untuk menciptakan kesan legalitas dan menghalau potensi gangguan dari masyarakat atau aparat lain.

Baca Juga:
Bupati Situbondo Sidak RSUD Abdoer Rahem, Soroti Transparansi Anggaran dan Pola Pikir Manajemen

Keterlibatan berbagai pihak dalam rantai distribusi ilegal ini secara jelas melanggar berbagai regulasi dan undang-undang yang berlaku. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM secara tegas menyebut bahwa penyaluran BBM bersubsidi harus tepat sasaran dan tidak boleh disalahgunakan. Rekomendasi fiktif jelas bertentangan dengan pasal ini.

Lebih lanjut, Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2018 tentang Kegiatan Penyaluran Bahan Bakar Minyak mengatur bahwa penyalur (SPBU) wajib mencatat dan memastikan kebenaran data konsumen pengguna. Dalam praktik di Situbondo, pengisian dilakukan atas dasar rekomendasi tanpa verifikasi validitas, sehingga menimbulkan celah penyimpangan.

Selain itu, tindakan penimbunan dan penjualan BBM subsidi untuk kepentingan non-subsidi melanggar Pasal 55 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang menyatakan bahwa “setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga BBM yang disubsidi pemerintah dapat dikenai pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda maksimal Rp60 miliar.”

Dalam konteks penggunaan dokumen palsu dan rekayasa administrasi untuk memperoleh keuntungan, praktik ini juga berpotensi melanggar Pasal 263 dan 264 KUHP tentang pemalsuan surat, serta Pasal 3 dan 5 UU Tindak Pidana Korupsi jika terbukti adanya aliran dana ke pejabat negara atau penyelenggara pemerintahan.

Keterlibatan ormas sebagai bagian dari jaringan juga bisa dikategorikan dalam pelanggaran UU Ormas Nomor 17 Tahun 2013 yang menyatakan bahwa ormas dilarang melakukan kegiatan yang meresahkan masyarakat dan bertentangan dengan hukum. Jika terbukti terlibat dalam praktik penyalahgunaan subsidi negara, sanksi administratif dan pidana dapat diterapkan.

Pihak-pihak yang mengendalikan distribusi dari balik layar diyakini telah membangun jaringan kolaboratif yang tidak hanya merugikan negara secara finansial, namun juga menyengsarakan nelayan asli yang kini kerap mengeluh kesulitan mendapatkan jatah solar bersubsidi di SPBU.

Baca Juga:
Penyidik KPK Geledah Pendopo Aryo Situbondo Terkait Kasus Korupsi

“Ada nelayan yang sampai tiga hari antre dan tetap tidak dapat solar. Tapi mobil jeriken bisa bolak-balik,” ujar salah satu tokoh nelayan di Kecamatan Jangkar.

SPBU sebagai pihak yang menyalurkan BBM juga tidak lepas dari sorotan. Beberapa pengelola berdalih bahwa mereka hanya melayani pembeli dengan surat resmi dari dinas. Namun, keengganan mereka untuk melakukan verifikasi mendalam memperlihatkan lemahnya kontrol internal dan kemungkinan pembiaran.

“Kami hanya melayani sesuai rekomendasi. Kalau suratnya sah, ya kami isi,” ujar seorang petugas SPBU di kawasan kota. Senada dengan beberapa SPBU lainnya di wilayah sekitar kota.

Sementara itu, hingga berita ini dirilis, belum ada klarifikasi resmi dari Dinas maupun pernyataan dari pihak APH terkait dugaan keterlibatan internal mereka. Namun, beberapa pemerhati kebijakan telah melaporkan indikasi penyimpangan ini ke pihak Ombudsman dan BPH Migas.

Pemerhati kebijakan energi dan penegakan hukum menyebut bahwa praktik penyalahgunaan BBM subsidi merupakan bentuk korupsi berjamaah yang jika tidak segera diungkap, akan terus menggerogoti keadilan distribusi energi dan memperburuk citra institusi publik.

“Ini bukan sekadar penyimpangan, tapi kejahatan terorganisir yang menyasar anggaran negara dan menindas masyarakat kecil. Harus ada langkah hukum tegas tanpa pandang bulu,” kata Koordinator Watch Energy Jawa Timur.

Pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM dan BPH Migas diharapkan segera melakukan audit menyeluruh terhadap distribusi BBM bersubsidi di Situbondo. Selain itu, aparat penegak hukum perlu menyisir kembali dugaan keterlibatan oknum-oknum dalam internal lembaga negara dan organisasi masyarakat.

Tanpa upaya hukum yang progresif dan transparan, kasus seperti ini akan terus berulang dan menjadi momok dalam kebijakan subsidi energi yang semestinya berpihak pada rakyat kecil, bukan disalahgunakan demi kepentingan sekelompok orang yang rakus. (bersambung)

Penulis: HamzahEditor: Redaksi
error: